Jakarta, Baru-baru ini diberitakan bahwa remaja yang mengalami gangguan pendengaran bisa jadi dikarenakan kelebihan berat badan atau obesitas. Namun sebuah penelitian terbaru mengatakan gangguan pendengaran pada remaja bukan saja karena berat badannya, tapi juga kebiasaan merokok ibunya selama hamil.
Meski dikatakan bahwa kaitan antara keduanya relatif rendah, tapi peneliti mewanti-wanti jika gangguan pendengaran yang terbatas pun dapat mempengaruhi kemampuan pembelajaran dan interaksi sosial seorang anak. Demikian dikutip dari Reuters, Jumat (21/6/2013).
Dalam penelitian ini, Weitzman dan rekan-rekannya menganalisis data dari sekelompok anak berusia 12-15 tahun yang diminta menjalani tes pendengaran pada tahun 2005-2006 sebagai bagian dari survei kesehatan nasional. Tes pendengaran dilakukan di kedua telinga untuk mengetahui apakah partisipan kesulitan membedakan beberapa suara dengan nada yang berbeda-beda atau tidak.
Orang tua partisipan juga ditanyai apakah mereka merokok selama masa kehamilan atau tidak. Beruntung hanya 16 persen partisipan yang ibunya diketahui merokok ketika mengandung partisipan.
Namun 16 persen partisipan itulah yang memiliki risiko gangguan pendengaran ringan. Bahkan satu dari enam partisipan diketahui mengalami gangguan pendengaran di salah satu telinganya, sedangkan pada partisipan yang ibunya tidak merokok, perbandingannya sebesar 1:14.
"Apalagi banyak remaja dengan gangguan pendengaran tak menyadari kalau mereka mengalaminya, tapi faktanya kondisi ini bisa membuat mereka mudah marah (agresif) maupun bermasalah di sekolah," tutur Dr. Michael Weitzman, seorang peneliti kesehatan anak dari New York University School of Medicine, AS, yang memimpin studi ini.
Bahkan Weitzman memprediksi pada remaja-remaja tertentu, kondisi gangguan pendengaran ringan ini bisa saja semakin memburuk ketika mereka beranjak dewasa.
Untuk itu, Weitzman sepakat jika orang tua yang merokok selama masa kehamilan berinisiatif atau mempertimbangkan agar anak-anaknya mendapatkan tes pendengaran saat usia mereka menginjak 12-15 tahun. Siapa tahu dari situ diketahui apakah si anak benar-benar mengalami gangguan pendengaran atau tidak sehingga mereka bisa mendapatkan upaya penanganan sejak dini.
Penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal JAMA Otolaryngology - Head & Neck Surgery.
sumber:detik.com
Meski dikatakan bahwa kaitan antara keduanya relatif rendah, tapi peneliti mewanti-wanti jika gangguan pendengaran yang terbatas pun dapat mempengaruhi kemampuan pembelajaran dan interaksi sosial seorang anak. Demikian dikutip dari Reuters, Jumat (21/6/2013).
Dalam penelitian ini, Weitzman dan rekan-rekannya menganalisis data dari sekelompok anak berusia 12-15 tahun yang diminta menjalani tes pendengaran pada tahun 2005-2006 sebagai bagian dari survei kesehatan nasional. Tes pendengaran dilakukan di kedua telinga untuk mengetahui apakah partisipan kesulitan membedakan beberapa suara dengan nada yang berbeda-beda atau tidak.
Orang tua partisipan juga ditanyai apakah mereka merokok selama masa kehamilan atau tidak. Beruntung hanya 16 persen partisipan yang ibunya diketahui merokok ketika mengandung partisipan.
Namun 16 persen partisipan itulah yang memiliki risiko gangguan pendengaran ringan. Bahkan satu dari enam partisipan diketahui mengalami gangguan pendengaran di salah satu telinganya, sedangkan pada partisipan yang ibunya tidak merokok, perbandingannya sebesar 1:14.
"Apalagi banyak remaja dengan gangguan pendengaran tak menyadari kalau mereka mengalaminya, tapi faktanya kondisi ini bisa membuat mereka mudah marah (agresif) maupun bermasalah di sekolah," tutur Dr. Michael Weitzman, seorang peneliti kesehatan anak dari New York University School of Medicine, AS, yang memimpin studi ini.
Bahkan Weitzman memprediksi pada remaja-remaja tertentu, kondisi gangguan pendengaran ringan ini bisa saja semakin memburuk ketika mereka beranjak dewasa.
Untuk itu, Weitzman sepakat jika orang tua yang merokok selama masa kehamilan berinisiatif atau mempertimbangkan agar anak-anaknya mendapatkan tes pendengaran saat usia mereka menginjak 12-15 tahun. Siapa tahu dari situ diketahui apakah si anak benar-benar mengalami gangguan pendengaran atau tidak sehingga mereka bisa mendapatkan upaya penanganan sejak dini.
Penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal JAMA Otolaryngology - Head & Neck Surgery.
sumber:detik.com
0 komentar:
Posting Komentar